Install Steam
login
|
language
简体中文 (Simplified Chinese)
繁體中文 (Traditional Chinese)
日本語 (Japanese)
한국어 (Korean)
ไทย (Thai)
Български (Bulgarian)
Čeština (Czech)
Dansk (Danish)
Deutsch (German)
Español - España (Spanish - Spain)
Español - Latinoamérica (Spanish - Latin America)
Ελληνικά (Greek)
Français (French)
Italiano (Italian)
Bahasa Indonesia (Indonesian)
Magyar (Hungarian)
Nederlands (Dutch)
Norsk (Norwegian)
Polski (Polish)
Português (Portuguese - Portugal)
Português - Brasil (Portuguese - Brazil)
Română (Romanian)
Русский (Russian)
Suomi (Finnish)
Svenska (Swedish)
Türkçe (Turkish)
Tiếng Việt (Vietnamese)
Українська (Ukrainian)
Report a translation problem
Kami nembak, clear corner, badan tegang semua badan,
Tapi Mikuzou? Nggak ikut perang.
Dia udah tanam bom di tengah site kayak lagi buka warung dagang.
“Bro! Belum clear! Masih ada di site!”
“Tenang, gua udah pasang, biar musuh panik, gitu logikanya.”
Kami mati satu-satu demi jaga tanamannya,
Dia ngumpet di pojok, bilang, “Lah… kok pada mati sih.”
Tim full buy, AWP, AK, semuanya berseri.
Mikuzou? Duit 10 ribu, beli Galil lagi.
Kadang FAMAS, biar katanya “ngirit dan gue bisa ngekill pake senjata itu, gitu sih.”
“Gua investasi buat next round,” katanya dengan bijak bodoh,
Padahal dia mati terakhir ngebait semua team.
Dan soal aim? Jangan tanya kejelasan,
Nembak ke kiri, musuh di kanan, tapi tetep headshot seolah pake sihir jalanan.
Pernah satu lawan satu, musuh jelas di scope,
Dia malah nembak lantai—musuhnya mati kena headshot
Kami teriak: “LAH, KOK BISA?!”
Dia jawab, “Feeling aja sih, gua nembak pake intuisi chakra.”
Setiap match, chaos pasti datang,
Tapi kalau Mikuzou gak ada, CS2 malah jadi hambar dan tenang.
Karena di balik semua keputusan bodoh yang dia buat,
Ada tawa yang gak bisa diganti — dan satu bom yang selalu dipasang tanpa lihat.